Friday, January 11, 2013

Tentang Seseorang

 

better to have a short life that is full of what you like doing, 

than a long life spent in a miserable way…

 

Seharian ini, kalimat di atas mengusik pikiran saya. Seakan-akan saya menggali dan menemukan fosil prasejarah  dari masa lalu. Fosil berupa mimpi dan harapan kini tinggal tulang belulang yang berserakan. Diakui atau tidak, semakin saya memandangi fosil itu semakin sakit dan semakin dalam luka yang ditinggalkan. 

Ini semua tentang seseorang yang mempunyai otak yang cukup brilian di sekolah. Dia digadang-gadang sebagai mercusuar di badai kehidupan yang melanda keluarganya. Meskipun dia mempunyai kekurangan fisik, tidak sebiji zarahpun ada niat di hatinya untuk menyerah. Dia berprinsip Tuhan telah memberikan pena nasib pada masing masing manusia sehingga kita semua wajib berusaha untuk mengejar takdir masing-masing. Berbagai kejuaraan telah dia menangkan. Mulai dari Juara III Lomba Cerdas Cermat IPS Kabupaten, 2 tahun berturut turut Juara Cerdas Cermat Agama dan MTQ, Juara Karya Tulis Ilmiah Provinsi, dan lain lain. Belum termasuk juara puisi, juara pidato, juara futsal dan pemain terbaik dan juara juara lain yang tidak lagi terhitung. Oya, sebagai bukti keenceran otaknya dia adalah Juara I Kejuaran Catur di SMA.

Kemudian dia melompat lebih tinggi ke tahapan selanjutnya dengan menempuh bangku kuliah. Dia masih mendapatkan universitas terbaik dengan masuk fakultas yang dia idam-idamkan. Dia menjadi calon Ketua Angkatan dan satu satunya mahasiswa yang sewaktu ospek berani menyuarakan ketidakadilan dan irrelevansi penugasan dengan tugas kuliah dengan mempertaruhkan namanya di depan senior yang 3-4 tahun lebih tua. Dia berlari kencang mengejar mimpinya.

 

Dan akhirnya di satu titik percabangan jalan dia berhenti berlari. Dia menunggu dengan bimbang. Jalan bercabang tersebut membagi dua jalan hidupnya. Ketika dia memilih salah satu jalan, dia tidak akan bisa kembali untuk memilih jalan lain. Jalan satu adalah jalan penuh semak, kerikil tajam yang terhempas, cacian orang yang meremehkan, masa depan yang belum pasti, dan beratnya beban orangtua untuk membiayai kuliah. Jalan tersebut adalah jalan mimpinya. Jalan kedua adalah jalan aspal, dengan bedeng di kanan kirinya, dengan pohon oak yang menghiasi pematang, pujian, masa depan yang mungkin cerah dan disertai dorongan kuat untuk meringankan beban orang tua. Jalan ini bukan mimpinya.

Pada akhirnya dia memilih jalan kedua. Dan membuang jauh jauh pikiran terhadap jalan mimpinya. Mungkin saat itu dia berpikir apakah ini saatnya merevisi mimpi? 

Belakangan orang itu menyadari bahwa dia memang berjalan di jalan kedua, namun hati dan pikirannya rupanya tertinggal di jalan pertama. Apalagi ternyata jalan yang dia pilih tidak sebaik yang dia kira, jalan tersebut memang lurus, indah, dan nyaman. Namun, dibalik kenyamanan tersebut dia terlena, kreatifitasnya menghilang, passion mengejar mimpinya musnah, dan yang paling parah tubuhnya perlahan lahan mengeras, antena tumbuh di kepalanya, gerakannya jadi kaku, DIA MENJADI ROBOT!

Dia kehilangan banyak rasa, dia kehilangan banyak respon dan sense of belonging, dia mati secara perasaan. 

Kini orang pengejar mimpi tersebut sudah lama hilang, yang tertinggal hanyalah saya, orang yang masih berharap bisa mengulang waktu.

Orang yang masih berharap.

Dan berharap.