Sebuah teriakan dari ibu-ibu berjilbab menyeruak dari barisan belakang antrian nasi uduk. Teriakan itu dibalas oleh ibu-ibu lain yang menggendong bayi dengan mengatakan bahwa dia juga minta didahulukan karena bayinya sudah lapar (entah bayinya atau dia yang lapar, saya tidak yakin anak umur sekitar 6 bulan sudah makan nasi uduk), sementara ibu muda lain yang berwajah oriental sibuk memilih-milih tempe goreng yang baru diangkat dari penggorengan. Uniknya, ibu-ibu tersebut adalah ibu-ibu yang datang 5 menit setelah saya dan bahkan saya yang sekarang berada di antrian terdepan belum dilayani, mereka dengan half-forced minta didahulukan.
Gambar Pinjem dari Mbah Google |
Cerita ini bermula ketika saya selesai jogging pagi di sekitaran Mega Glodok Kemayoran (MGK), belakang Jamkrindo, dan ingin mengisi perut yang sudah lumayan lapar di penjual nasi uduk dekat kosan. Syukurlah sedang tidak ramai, pikir saya, saya langsung memesan nasi uduk disambut dengan anggukan pelan ibu penjual nasi uduk yang tengah sibuk menggoreng tempe mendoan. Ibu penjual yang ramah meminta izin menyelesaikan menggoreng tempe dulu karena takut gosong, soalnya di sendirian biasanya ditemani suami atau anaknya, takut gosong katanya.
Beberapa saat kemudian seperti yang sudah saya ceritakan di atas, beberapa ibu-ibu tanpa rasa bersalah melewati giliran saya dan bahkan tanpa minta maaf. Bahkan seorang ibu yang oleh penjualnya dipanggil “Bu Haji” tanpa rasa malu menunjuk tempe yang baru diangkat dari penggorengan (yang oleh ibu penjualnya tadinya diperuntukkan buat saya) dan mengambilnya. Saya hanya menggeleng geleng tiap beberapa orang melewati giliran saya. Justru ibu ibu penjualnya yang merasa tidak enak dan dialah yang meminta maaf kepada saya. Ibu-ibu berjilbab yang tadi minta didahulukan karena suaminya sudah mau berangkat kerja ngeloyor pergi begitu saja. Mungkin dia sudah biasa menyela seperti itu. Mungkin saja.
Gambar Pinjem dari Mbah Google |
Dua kejadian indisipliner di atas mungkin terlihat sepele dan tidak berarti, namun jangan lupa bahwa hal-hal besar dimulai dengan hal-hal yang kecil baik itu positif maupun negatif. Untuk hal-hal kecil saja sebagian masyarakat kita masih belum bisa disiplin, apalagi nanti kalau dihadapkan dengan hal yang lebih besar. Ironisnya, penyerobot di kejadian nasi uduk adalah seorang ibu ibu. Kenapa saya bilang ironis? Ya, bagaimana dia akan mengajarkan disiplin ke anak-anaknya kalau dia sendiri tidak bisa disiplin? Dengan mengembalikan definisi pendidikan pertama adalah pada keluarga, bagaimana pendidikan akan diterapkan (terutama pendidikan disiplin) jika orang tua, dalam hal ini ibu-ibu malah tidak menghargai yang namanya antri? Bukan suatu yang mengherankan jika ternyata orang yang di kejadian kedua adalah suaminya, atau anaknya? hehehe..
Tinggal di Jakarta selama hampir 7 tahun membuat saya mengerti karakter-karakter orangnya. Dan uniknya (lagi-lagi) ini bukan kejadian pertama saya diserobot dalam antrian, tidak hanya nasi uduk namun hampir di segala bidang. Baik itu dalam pelayanan publik, fasilitas umum, jasa dan lain-lain. Kejadian yang sama persis sering saya alami sewaktu saya masih kuliah di Bintaro. Apakah sudah menjadi budaya hal seperti ini? Kalau mau su’udzon mentang-mentang mereka yang punya tanah, orang sini, lantas bisa bebas berlaku? Sebagai komparasi, saya juga pernah ngekos di Jogja, alhamdulillah selama ngantri beli makan, baik itu nasi uduk maupun di rumah makan jarang ada yang menyerobot, malah terkadang ada yang mempersilahkan terlebih dahulu kalau terburu-buru.
Gambar Pinjem dari Mbah Google |
NB: Cerita ini pernah saya posting di Kompasiana