Monday, September 30, 2013

Dari Antrian Nasi Uduk Ke Antrian Jalan Raya

“Bu, saya diduluin dong.. Suami saya sudah mau berangkat kerja nih..”

Sebuah teriakan dari ibu-ibu berjilbab menyeruak dari barisan belakang antrian nasi uduk. Teriakan itu dibalas oleh ibu-ibu lain yang menggendong bayi dengan mengatakan bahwa dia juga minta didahulukan karena bayinya sudah lapar (entah bayinya atau dia yang lapar, saya tidak yakin anak umur sekitar 6 bulan sudah makan nasi uduk), sementara ibu muda lain yang berwajah oriental sibuk memilih-milih tempe goreng yang baru diangkat dari penggorengan. Uniknya, ibu-ibu tersebut adalah ibu-ibu yang datang 5 menit setelah saya dan bahkan saya yang sekarang berada di antrian terdepan belum dilayani, mereka dengan half-forced minta didahulukan.

Gambar Pinjem dari Mbah Google

Cerita ini bermula ketika saya selesai jogging pagi di sekitaran Mega Glodok Kemayoran (MGK), belakang Jamkrindo, dan ingin mengisi perut yang sudah lumayan lapar di penjual nasi uduk dekat kosan. Syukurlah sedang tidak ramai, pikir saya, saya langsung memesan nasi uduk disambut dengan anggukan pelan ibu penjual nasi uduk yang tengah sibuk menggoreng tempe mendoan. Ibu penjual yang ramah meminta izin menyelesaikan menggoreng tempe dulu karena takut gosong, soalnya di sendirian biasanya ditemani suami atau anaknya, takut gosong katanya.

Beberapa saat kemudian seperti yang sudah saya ceritakan di atas, beberapa ibu-ibu tanpa rasa bersalah melewati giliran saya dan bahkan tanpa minta maaf. Bahkan seorang ibu yang oleh penjualnya dipanggil “Bu Haji” tanpa rasa malu menunjuk tempe yang baru diangkat dari penggorengan (yang oleh ibu penjualnya tadinya diperuntukkan buat saya) dan mengambilnya. Saya hanya menggeleng geleng tiap beberapa orang melewati giliran saya. Justru ibu ibu penjualnya yang merasa tidak enak dan dialah yang meminta maaf kepada saya. Ibu-ibu berjilbab yang tadi minta didahulukan karena suaminya sudah mau berangkat kerja ngeloyor pergi begitu saja. Mungkin dia sudah biasa menyela seperti itu. Mungkin saja.

Gambar Pinjem dari Mbah Google
Karena kejadian disela berkali-kali di atas saya menghabiskan waktu sepuluh menit hanya untuk membeli nasi uduk dan menjadi agak ngaret ke kantor. Seperti biasa untuk mencapai kantor saya di bilangan Lapangan Banteng, saya memacu sepeda motor melewati Jalan Angkasa dan Jalan Gunung Sahari yang biasa kalau jam jam 7-9 biasa macet. Apalagi ditambah adanya palang pintu kereta api yang biasanya agak lama. Kebetulan tadi pagi saya juga kena palang pintu, maksudnya terhalang gitu, dan terpaksa berhenti. Tiba-tiba dari belakang sebuah motor membunyikan klakson meminta saya dan motor di depan minggir. Saya yang setengah enggan agak meminggirkan motor merapat hampir menyenggol mobil di sebelah kanan. Motor itu lalu meliuk-liuk diantara motor motor lain dan kemudian melewati palang mintu, menunggu kereta lewat di dalam area berbahaya yang sebenarnya kita dilarang untuk melintas.

Dua kejadian indisipliner di atas mungkin terlihat sepele dan tidak berarti, namun jangan lupa bahwa hal-hal besar dimulai dengan hal-hal yang kecil baik itu positif maupun negatif. Untuk hal-hal kecil saja sebagian masyarakat kita masih belum bisa disiplin, apalagi nanti kalau dihadapkan dengan hal yang lebih besar. Ironisnya, penyerobot di kejadian nasi uduk adalah seorang ibu ibu. Kenapa saya bilang ironis? Ya, bagaimana dia akan mengajarkan disiplin ke anak-anaknya kalau dia sendiri tidak bisa disiplin? Dengan mengembalikan definisi pendidikan pertama adalah pada keluarga, bagaimana pendidikan akan diterapkan (terutama pendidikan disiplin) jika orang tua, dalam hal ini ibu-ibu malah tidak menghargai yang namanya antri? Bukan suatu yang mengherankan jika ternyata orang yang di kejadian kedua adalah suaminya, atau anaknya? hehehe..

Tinggal di Jakarta selama hampir 7 tahun membuat saya mengerti karakter-karakter orangnya. Dan uniknya (lagi-lagi) ini bukan kejadian pertama saya diserobot dalam antrian, tidak hanya nasi uduk namun hampir di segala bidang. Baik itu dalam pelayanan publik, fasilitas umum, jasa dan lain-lain. Kejadian yang sama persis sering saya alami sewaktu saya masih kuliah di Bintaro. Apakah sudah menjadi budaya hal seperti ini? Kalau mau su’udzon mentang-mentang mereka yang punya tanah, orang sini, lantas bisa bebas berlaku? Sebagai komparasi, saya juga pernah ngekos di Jogja, alhamdulillah selama ngantri beli makan, baik itu nasi uduk maupun di rumah makan jarang ada yang menyerobot, malah terkadang ada yang mempersilahkan terlebih dahulu kalau terburu-buru.

Gambar Pinjem dari Mbah Google
Disiplin dimulai dari sendiri. Mustahil merubah dunia jika diri sendiri tidak disiplin. Saya membayangkan masyarakat kita tertib, antri di jalan raya, disiplin, tidak ada saling klakson, dan yang lain lain. Angan-angan saya mulai mengabur, seiring pengendara motor yang mengklakson saya yang akhirnya menerobos rel padahal sinyal kedatangan kereta masih menyala. Astaghfirulloh apa dia tidak memikirkan nyawanya. Ah, mungkin dia sudah biasa menerobos seperti itu. Mungkin saja.

NB: Cerita ini pernah saya posting di Kompasiana

Monday, September 9, 2013

Saya (Juga) Bosan Bekerja

Postingan ini terinspirasi dari sebuah tulisan dari Pak Roni yang berjudul Saya Bosan Bekerja. Sama-sama tengah mengalami kejenuhan dalam pekerjaan. Lain dengan Pak Roni yang disitu beliau katakan berjuang keluar masuk, perusahaan maupun instansi dalam mencari pekerjaan, saya adalah sedikit orang yang beruntung mendapat pekerjaan tanpa harus susah susah mencarinya.

Saya tidak pernah merasakan bagaimana susahnya melamar pekerjaan. Saya tidak pernah merasakan lelahnya berjalan kesana kemari, keluar masuk perusahaan dan instansi. Saya tidak pernah merasakan berkali kali membuat Curriculum Vitae dan menulis lamaran pekerjaan. Saya kuliah, saya lulus, saya langsung bekerja. Titik.

Sampai di paragraf ini mungkin banyak yang mengira saya adalah anak bos, anak juragan tanah, atau pemilik perusahaan multinasional yang mewariskan pekerjaannya kepada garis keturunannya. Ya, saya juga bermimpi seperti itu. Namun ketika terbangun, saya menyadari bahwa saya hanya anak pasangan petani miskin dari kampung yang beruntung menjadi PNS di ibukota.

Ya, hidup saya penuh keberuntungan. Dengan cacat tubuh dan kemampuan otak yang biasa biasa saja, saya selalu berhasil bersekolah di tempat tempat favorit. Alhamdulillah mulai dari SD sampai kuliah saya selalu berhasil mendapat apa yang saya inginkan. Saya, dengan didorong keinginan orang tua yang tidak ingin mewariskan pekerjaan mereka kepada saya, masuk ke tempat yang menjanjikan pekerjaan setelah lulus. Dan sayapun mendapatkannya.

Hanya, setelah duduk di ruangan ini, di lantai 13 gedung yang dapat memandang jelas lapangan Banteng ini, saya sering merasa hampa. Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari diri saya sejak disini. Seperti sesuatu telah terambil dari diri saya.

Setiap hari saya berangkat hampir di jam yang sama dan pulang di jam yang sama pula. Saya bertemu orang orang yang sama dan ngobrol dengan orang orang yang sama. Pekerjaan yang saya lakukan sehari hari sama. Kemungkinan berbeda hampir nol. Pada tahun tahun pertama saya tidak terlalu merasakannya, namun memasuki tahun ketiga saya mulai merasa bosan.Saya sudah mensiasati dengan menggunakan jalan yang berbeda baik ketika berangkat maupun pulang kantor. Makan di tempat yang berbeda. Namun garis besarnya saya tetaplah monoton. Hati saya tetap saja hampa.

Sampai saat ini saya masih mencari obatnya.