Monday, February 3, 2014

Tidak Enak Menjadi Minoritas


Pagi ini saya masuk kerja (lagi) setelah hari Kamis kena K.O. kehujanan dan demam yang membuat kepala seperti dipakaikan helm 10 kilogram. Entah kenapa hari ini, saya masih pusing. Mungkin efek dari perjalanan kereta api 9 jam nonstop sampai jam 12 malam tadi plus sampai stasiun Senen kehujanan dan saya tidak bisa tidur sampai pagi.

Sesampainya saya di kantor saya menaruh oleh-oleh pulang kampung berupa bakpia dan wingko babat di tempat rekan-rekan biasa menaruh oleh-oleh. Beberapa menit kemudian rekan saya membawa oleh-oleh 'benda yang paling saya benci', durian.

Ya, saya sangat benci dengan benda busuk satu itu. Saking bencinya saya tidak pernah tidak pusing ketika mencium baunya. Celakanya hari ini kondisi tubuh saya sedang menurun dan rasanya benar-benar membikin mual, seakan mau muntah.

Itulah tidak enaknya menjadi minoritas. Dalam prinsip demokrasi, suara terbanyak adalah yang berkuasa, ok saya paham. Tapi sayangnya dalam prinsip demokrasi, kebebasan individu juga mendapatkan tempat yang tinggi. Dalam hal ini kebebasan rekan-rekan saya untuk menyantap durian yang berbau itu seharusnya memperhatikan kebebasan saya untuk menghirup udara segar tanpa ada bau sesuatu yang tidak saya sukai. Suka atau tidak suka begitulah prinsip demokrasi. Namun, hal seperti itu sepertinya hanya utopia. Tidak hanya terjadi di lingkungan pekerjaan, namun ketidakbecusan penerapan demokrasi sebenarnya terjadi juga di masyarakat yang lebih luas. Ya, karena masyarakat luas merupakan pengembangan dari prototipe yang lebih sempit.

Ya itu menjadi sebuah ironi dalam perkembangan demokrasi, minoritas tetap minoritas.