Thursday, December 5, 2013

JANGAN HIDUP SEPERTI BABI!


Jika hidup hanya sekedar hidup, babi di hutan juga hidup
Jika bekerja hanya sekedar bekerja, kera juga bekerja
 (Prof. Buya Hamka)

Buya Hamka

Sama seperti kata-kata mutiara lain yang ndilalah mengena pada saat saat tertentu, kata-kata ini menohok saya cukup dalam.. Mungkin sejauh ini paling dalam diantara wise words dari para tokoh terkenal lain. Jika dibandingkan dengan penyair terkemuka India, Rabindranath Tagore yang biasanya menggunakan bahasa yang halus dan tidak terlalu tajam untuk menyindir, Buya Hamka to the point tanpa tedeng aling-aling memperbandingkan kita dengan kera dan babi.

Hmm..kita? Sorry, saya, karena yang akan saya ceritakan adalah saya. Jika kita tengok konteks kata mutiara tersebut maka yang akan kita dapat adalah perbandingan hiperbolis antara manusia sebagai makhluk yang menurut Tuhan paling sempurna dengan makhluk yang menurut manusia paling hina. Yang disinggung bukan lagi masalah sepele lagi, karena yang dibicarakan disini adalah HIDUP.

Sekarang mari kita lihat bagian pertama kata Buya Hamka tersebut, Buya Hamka intinya disitu mengatakan kalau hidup sekedar hidup apa bedanya kita dengan babi. Nah seperti apa babi hidup? Gampangnya, apa yang dilakukan babi dalam hidupnya. Menurut embah google dan pengalaman dari tetangga-temen-saya-yang-mempunyai-peternakan-babi, babi hidup hanya makan, minum, tidur, berak, makan, minum, tidur, berak lagi begitu seterusnya hingga mati. Siklus tersebut bervariasi di setiap babi dan pada intinya bermuara pada satu kata: monoton!

babi, di kartun sih :D
Jika melihat hubungan sebab akibat, maka tidak logis apabila seorang Buya Hamka mengatakan sesuatu tanpa mengalami atau melihat fakta. Buya Hamka seperti melihat kecenderungan itu dalam diri kita, manusia. Dan saya sebagai orang yang tidak ada apa-apanya dibanding dengan Buya Hamka, saya melihatnya juga di lingkungan masyarakat kita.

Saya melihatnya justru bukan di hidup orang susah, saya melihatnya di hidup orang menengah, saya melihatnya di hidup orang kantoran, PNS, saya melihatnya di hidup bos-bos berdasi yang duduk di kursi nyamannya.

PNS

Justru ketika orang mulai nyaman dengan apa yang dia kerjakan, pewe terhadap rutinitasnya, orang akan berubah seperti apa yang Buya Hamka katakan, seperti babi. Bedanya babi disumpal makanan, orang disumpal gaji (tetap). Orang cenderung menjadi heartless dan egois, orang jadi lebih sering memakai kata pokoknya, pokoknya yang penting gw gajian, pokoknya yang penting kerjaan kelar, pokoknya asal bos senang, pokoknya, pokoknya, pokoknya hidup?

Sebagai makhluk paling sempurna harusnya kita malu dipersonifikasikan dengan babi, namun pada kenyataannya banyak orang yang secara tidak sadar mengakuinya bahkan yang ironis ada budaya di masyarakat untuk menekan kreativitas, untuk menghalangi orang perkembang, bahasanya mereka beternak babi.

Mengakui bahwa kita seperti babi adalah langkah pertama, sekaligus langkah tersulit untuk memulai sebuah perubahan dalam hidup. Karena dengan memberikan berbagai alasan dan eksepsi, kita hanya akan menjadi babi pintar, biar kata sepintar apapun tetap saja babi.

bersambung selanjutnya: JANGAN HIDUP SEPERTI KERA!

Monday, September 30, 2013

Dari Antrian Nasi Uduk Ke Antrian Jalan Raya

“Bu, saya diduluin dong.. Suami saya sudah mau berangkat kerja nih..”

Sebuah teriakan dari ibu-ibu berjilbab menyeruak dari barisan belakang antrian nasi uduk. Teriakan itu dibalas oleh ibu-ibu lain yang menggendong bayi dengan mengatakan bahwa dia juga minta didahulukan karena bayinya sudah lapar (entah bayinya atau dia yang lapar, saya tidak yakin anak umur sekitar 6 bulan sudah makan nasi uduk), sementara ibu muda lain yang berwajah oriental sibuk memilih-milih tempe goreng yang baru diangkat dari penggorengan. Uniknya, ibu-ibu tersebut adalah ibu-ibu yang datang 5 menit setelah saya dan bahkan saya yang sekarang berada di antrian terdepan belum dilayani, mereka dengan half-forced minta didahulukan.

Gambar Pinjem dari Mbah Google

Cerita ini bermula ketika saya selesai jogging pagi di sekitaran Mega Glodok Kemayoran (MGK), belakang Jamkrindo, dan ingin mengisi perut yang sudah lumayan lapar di penjual nasi uduk dekat kosan. Syukurlah sedang tidak ramai, pikir saya, saya langsung memesan nasi uduk disambut dengan anggukan pelan ibu penjual nasi uduk yang tengah sibuk menggoreng tempe mendoan. Ibu penjual yang ramah meminta izin menyelesaikan menggoreng tempe dulu karena takut gosong, soalnya di sendirian biasanya ditemani suami atau anaknya, takut gosong katanya.

Beberapa saat kemudian seperti yang sudah saya ceritakan di atas, beberapa ibu-ibu tanpa rasa bersalah melewati giliran saya dan bahkan tanpa minta maaf. Bahkan seorang ibu yang oleh penjualnya dipanggil “Bu Haji” tanpa rasa malu menunjuk tempe yang baru diangkat dari penggorengan (yang oleh ibu penjualnya tadinya diperuntukkan buat saya) dan mengambilnya. Saya hanya menggeleng geleng tiap beberapa orang melewati giliran saya. Justru ibu ibu penjualnya yang merasa tidak enak dan dialah yang meminta maaf kepada saya. Ibu-ibu berjilbab yang tadi minta didahulukan karena suaminya sudah mau berangkat kerja ngeloyor pergi begitu saja. Mungkin dia sudah biasa menyela seperti itu. Mungkin saja.

Gambar Pinjem dari Mbah Google
Karena kejadian disela berkali-kali di atas saya menghabiskan waktu sepuluh menit hanya untuk membeli nasi uduk dan menjadi agak ngaret ke kantor. Seperti biasa untuk mencapai kantor saya di bilangan Lapangan Banteng, saya memacu sepeda motor melewati Jalan Angkasa dan Jalan Gunung Sahari yang biasa kalau jam jam 7-9 biasa macet. Apalagi ditambah adanya palang pintu kereta api yang biasanya agak lama. Kebetulan tadi pagi saya juga kena palang pintu, maksudnya terhalang gitu, dan terpaksa berhenti. Tiba-tiba dari belakang sebuah motor membunyikan klakson meminta saya dan motor di depan minggir. Saya yang setengah enggan agak meminggirkan motor merapat hampir menyenggol mobil di sebelah kanan. Motor itu lalu meliuk-liuk diantara motor motor lain dan kemudian melewati palang mintu, menunggu kereta lewat di dalam area berbahaya yang sebenarnya kita dilarang untuk melintas.

Dua kejadian indisipliner di atas mungkin terlihat sepele dan tidak berarti, namun jangan lupa bahwa hal-hal besar dimulai dengan hal-hal yang kecil baik itu positif maupun negatif. Untuk hal-hal kecil saja sebagian masyarakat kita masih belum bisa disiplin, apalagi nanti kalau dihadapkan dengan hal yang lebih besar. Ironisnya, penyerobot di kejadian nasi uduk adalah seorang ibu ibu. Kenapa saya bilang ironis? Ya, bagaimana dia akan mengajarkan disiplin ke anak-anaknya kalau dia sendiri tidak bisa disiplin? Dengan mengembalikan definisi pendidikan pertama adalah pada keluarga, bagaimana pendidikan akan diterapkan (terutama pendidikan disiplin) jika orang tua, dalam hal ini ibu-ibu malah tidak menghargai yang namanya antri? Bukan suatu yang mengherankan jika ternyata orang yang di kejadian kedua adalah suaminya, atau anaknya? hehehe..

Tinggal di Jakarta selama hampir 7 tahun membuat saya mengerti karakter-karakter orangnya. Dan uniknya (lagi-lagi) ini bukan kejadian pertama saya diserobot dalam antrian, tidak hanya nasi uduk namun hampir di segala bidang. Baik itu dalam pelayanan publik, fasilitas umum, jasa dan lain-lain. Kejadian yang sama persis sering saya alami sewaktu saya masih kuliah di Bintaro. Apakah sudah menjadi budaya hal seperti ini? Kalau mau su’udzon mentang-mentang mereka yang punya tanah, orang sini, lantas bisa bebas berlaku? Sebagai komparasi, saya juga pernah ngekos di Jogja, alhamdulillah selama ngantri beli makan, baik itu nasi uduk maupun di rumah makan jarang ada yang menyerobot, malah terkadang ada yang mempersilahkan terlebih dahulu kalau terburu-buru.

Gambar Pinjem dari Mbah Google
Disiplin dimulai dari sendiri. Mustahil merubah dunia jika diri sendiri tidak disiplin. Saya membayangkan masyarakat kita tertib, antri di jalan raya, disiplin, tidak ada saling klakson, dan yang lain lain. Angan-angan saya mulai mengabur, seiring pengendara motor yang mengklakson saya yang akhirnya menerobos rel padahal sinyal kedatangan kereta masih menyala. Astaghfirulloh apa dia tidak memikirkan nyawanya. Ah, mungkin dia sudah biasa menerobos seperti itu. Mungkin saja.

NB: Cerita ini pernah saya posting di Kompasiana

Monday, September 9, 2013

Saya (Juga) Bosan Bekerja

Postingan ini terinspirasi dari sebuah tulisan dari Pak Roni yang berjudul Saya Bosan Bekerja. Sama-sama tengah mengalami kejenuhan dalam pekerjaan. Lain dengan Pak Roni yang disitu beliau katakan berjuang keluar masuk, perusahaan maupun instansi dalam mencari pekerjaan, saya adalah sedikit orang yang beruntung mendapat pekerjaan tanpa harus susah susah mencarinya.

Saya tidak pernah merasakan bagaimana susahnya melamar pekerjaan. Saya tidak pernah merasakan lelahnya berjalan kesana kemari, keluar masuk perusahaan dan instansi. Saya tidak pernah merasakan berkali kali membuat Curriculum Vitae dan menulis lamaran pekerjaan. Saya kuliah, saya lulus, saya langsung bekerja. Titik.

Sampai di paragraf ini mungkin banyak yang mengira saya adalah anak bos, anak juragan tanah, atau pemilik perusahaan multinasional yang mewariskan pekerjaannya kepada garis keturunannya. Ya, saya juga bermimpi seperti itu. Namun ketika terbangun, saya menyadari bahwa saya hanya anak pasangan petani miskin dari kampung yang beruntung menjadi PNS di ibukota.

Ya, hidup saya penuh keberuntungan. Dengan cacat tubuh dan kemampuan otak yang biasa biasa saja, saya selalu berhasil bersekolah di tempat tempat favorit. Alhamdulillah mulai dari SD sampai kuliah saya selalu berhasil mendapat apa yang saya inginkan. Saya, dengan didorong keinginan orang tua yang tidak ingin mewariskan pekerjaan mereka kepada saya, masuk ke tempat yang menjanjikan pekerjaan setelah lulus. Dan sayapun mendapatkannya.

Hanya, setelah duduk di ruangan ini, di lantai 13 gedung yang dapat memandang jelas lapangan Banteng ini, saya sering merasa hampa. Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari diri saya sejak disini. Seperti sesuatu telah terambil dari diri saya.

Setiap hari saya berangkat hampir di jam yang sama dan pulang di jam yang sama pula. Saya bertemu orang orang yang sama dan ngobrol dengan orang orang yang sama. Pekerjaan yang saya lakukan sehari hari sama. Kemungkinan berbeda hampir nol. Pada tahun tahun pertama saya tidak terlalu merasakannya, namun memasuki tahun ketiga saya mulai merasa bosan.Saya sudah mensiasati dengan menggunakan jalan yang berbeda baik ketika berangkat maupun pulang kantor. Makan di tempat yang berbeda. Namun garis besarnya saya tetaplah monoton. Hati saya tetap saja hampa.

Sampai saat ini saya masih mencari obatnya.


Tuesday, June 11, 2013

Curhat ala Alay

Belakangan ini saya jadi apatis, kalau ada istilah statis mungkin lebih cocok untuk menggambarkan "rusak"-nya kehidupan saya. Niat berapi-api untuk rajin nulis perlahan tapi pasti padam, proyek satu minggu satu artikel juga hanya jadi proyek yang mangkrak, terbengkalai, seperti pengembang kehabisan dana. Belum lagi program-program jangka pendek, menengah maupun panjang yang sudah disusun dalam sebuah resolusi awal tahun (yang dibuat karena naluri pengen ikut-ikutan keren bikin resolusi) kini seolah menguap ke lapisan ozon.



Mungkin saya kerasukan setan, kerasukan sifat sifat iblis. Katanya malas merupakan sifat setan. Ah, nggak juga. Justru setan itu rajin. Dua puluh empat jam sehari dia habiskan waktunya buat menggoda manusia, apa hal seperti itu bisa disebut malas? Disamping itu beliau sangat konsisten dan termasuk loyal terhadap profesinya. Lho, kok malah muji muji setan? Ini kan tadi saya mau cerita saya jadi apatis kok jadi ngomongin setan sih?


Yah kemalasan itu sangat berbahaya kawan. Dia laksana noda yang menempel di tepi jendela kaca, apabila nodanya sedikit/ringan kita akan mudah membersihkannya, cukup dilap. Namun, apabila noda tersebut dibiarkan berlarut-larut menempel dan tidak dibersihkan, dia akan mengerak dan tertempel noda-noda lain sehingga untuk membersihkannya akan jauh lebih sulit. Bahkan memakai kadang-kadang mesti pakai Super Pell untuk membersihkan kaca. Tunggu dulu, Super Pell kan pembersih lantai, kok buat membersihkan kaca? Lah ini tadi kan saya mau curhat masalah malas kok jadi cerita super pel sih?

Yaudah deh daripada ga nyambung dari tadi mending saya beli obat dulu ke apotik..

Friday, January 11, 2013

Tentang Seseorang

 

better to have a short life that is full of what you like doing, 

than a long life spent in a miserable way…

 

Seharian ini, kalimat di atas mengusik pikiran saya. Seakan-akan saya menggali dan menemukan fosil prasejarah  dari masa lalu. Fosil berupa mimpi dan harapan kini tinggal tulang belulang yang berserakan. Diakui atau tidak, semakin saya memandangi fosil itu semakin sakit dan semakin dalam luka yang ditinggalkan. 

Ini semua tentang seseorang yang mempunyai otak yang cukup brilian di sekolah. Dia digadang-gadang sebagai mercusuar di badai kehidupan yang melanda keluarganya. Meskipun dia mempunyai kekurangan fisik, tidak sebiji zarahpun ada niat di hatinya untuk menyerah. Dia berprinsip Tuhan telah memberikan pena nasib pada masing masing manusia sehingga kita semua wajib berusaha untuk mengejar takdir masing-masing. Berbagai kejuaraan telah dia menangkan. Mulai dari Juara III Lomba Cerdas Cermat IPS Kabupaten, 2 tahun berturut turut Juara Cerdas Cermat Agama dan MTQ, Juara Karya Tulis Ilmiah Provinsi, dan lain lain. Belum termasuk juara puisi, juara pidato, juara futsal dan pemain terbaik dan juara juara lain yang tidak lagi terhitung. Oya, sebagai bukti keenceran otaknya dia adalah Juara I Kejuaran Catur di SMA.

Kemudian dia melompat lebih tinggi ke tahapan selanjutnya dengan menempuh bangku kuliah. Dia masih mendapatkan universitas terbaik dengan masuk fakultas yang dia idam-idamkan. Dia menjadi calon Ketua Angkatan dan satu satunya mahasiswa yang sewaktu ospek berani menyuarakan ketidakadilan dan irrelevansi penugasan dengan tugas kuliah dengan mempertaruhkan namanya di depan senior yang 3-4 tahun lebih tua. Dia berlari kencang mengejar mimpinya.

 

Dan akhirnya di satu titik percabangan jalan dia berhenti berlari. Dia menunggu dengan bimbang. Jalan bercabang tersebut membagi dua jalan hidupnya. Ketika dia memilih salah satu jalan, dia tidak akan bisa kembali untuk memilih jalan lain. Jalan satu adalah jalan penuh semak, kerikil tajam yang terhempas, cacian orang yang meremehkan, masa depan yang belum pasti, dan beratnya beban orangtua untuk membiayai kuliah. Jalan tersebut adalah jalan mimpinya. Jalan kedua adalah jalan aspal, dengan bedeng di kanan kirinya, dengan pohon oak yang menghiasi pematang, pujian, masa depan yang mungkin cerah dan disertai dorongan kuat untuk meringankan beban orang tua. Jalan ini bukan mimpinya.

Pada akhirnya dia memilih jalan kedua. Dan membuang jauh jauh pikiran terhadap jalan mimpinya. Mungkin saat itu dia berpikir apakah ini saatnya merevisi mimpi? 

Belakangan orang itu menyadari bahwa dia memang berjalan di jalan kedua, namun hati dan pikirannya rupanya tertinggal di jalan pertama. Apalagi ternyata jalan yang dia pilih tidak sebaik yang dia kira, jalan tersebut memang lurus, indah, dan nyaman. Namun, dibalik kenyamanan tersebut dia terlena, kreatifitasnya menghilang, passion mengejar mimpinya musnah, dan yang paling parah tubuhnya perlahan lahan mengeras, antena tumbuh di kepalanya, gerakannya jadi kaku, DIA MENJADI ROBOT!

Dia kehilangan banyak rasa, dia kehilangan banyak respon dan sense of belonging, dia mati secara perasaan. 

Kini orang pengejar mimpi tersebut sudah lama hilang, yang tertinggal hanyalah saya, orang yang masih berharap bisa mengulang waktu.

Orang yang masih berharap.

Dan berharap.