Tuesday, August 19, 2014
Kekuatan Tanpa Kekerasan
Mungkin rekan rekan mengira, foto diatas adalah foto Amitabh Bachan atau artis India lainnya hehe..
Bukan, foto di atas adalah foto Dr. Arun Gandhi.
Dr. Arun Gandhi adalah cucu Mahatma Gandhi dan pendiri Lembaga M.K.Gandhi
untuk Tanpa-Kekerasan.
Pada tanggal 9 Juni ia memberikan ceramah di Universitas Puerto Rico dan bercerita bagaimana memberikan contoh tanpa-kekerasan yang dapat diterapkan di sebuah keluarga.
Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh dipedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.
Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.
Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, "Ayah tunggu kau disini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama." Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya.
Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul 17:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18:00.
Dengan gelisah ayah menanyai saya, "Kenapa kau terlambat?" Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne sehingga saya menjawab, "Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu. "Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, "Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik."
Lalu, ayah dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, makaselama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan yang bodoh yang saya lakukan.
Sejak itu saya tidak pernah akan berbohong lagi. Seringkali saya berpikir mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai tanpa-kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa-kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin.
Itulah kekuatan tanpa-kekerasan.
Sumber: Disadur dari 'The Power Of Nonviolence' oleh Dr. Arun Gandhi
Monday, April 28, 2014
Mensyukuri Pekerjaan
Banyak
sekali orang yang mengeluhkan tentang pekerjaannya. Alasannya pun beragam
macam. Ada yang soal gaji rendah. Teman yang tidak bersahabat. Atasan yang
pilih kasih. Karir yang tidak naik-naik. Dan seribu satu alasan lainnya.
Makanya, tidak heran jika setiap pagi rasanya berat sekali untuk berangkat ke
kantor. Setelah tiba di kantor juga tidak bersungguh-sungguh mencurahkan
seluruh kemampuan. Datang kesiangan, pulang kegesitan. Seakan-akan kita ini
tidak membutuhkan pekerjaan itu. Sekarang, coba bayangkan; bagaimana seandainya
besok pagi kita kehilangan pekerjaan itu? Apakah hidup Anda akan tetap
baik-baik saja? Hmmmh, barangkali ini adalah saat yang tepat untuk kembali
mensyukuri pekerjaan yang saat ini kita miliki. Sudahkah Anda mensyukuri
pekerjaan pagi ini?
Kehidupan
kerja kita tidak selamanya menyenangkan. Kadang Anda dimarahi pelanggan. Kadang
diomeli atasan. Kadang dijegal oleh teman. Dan masih banyak situasi sulit
lainnya yang bisa menimbulkan kekecewaan. Kita sering keliru melampiaskan
kekesalan dengan membenci pekerjaan. Padahal, semakin benci Anda pada
pekerjaan, semakin memburuklah keadaannya. Semakin memburuk keadaannya, semakin
jauhlah Anda dari rasa syukurnya. Semakin jauh dari rasa syukur? Semakin benci
Anda pada pekerjaan. Dan terjebaklah Anda dalam kegelisahan tanpa ujung. Maka,
tidak ada pilihan lain selain menysukuri pekerjaan yang kita miliki. Karena
rasa syukur, membimbing kita untuk menemukan makna terdalam dari pekerjaan.
Memang mudah untuk dikatakan, tapi bersyukur itu sungguh tidak gampang untuk
dilakukan. Kita butuh pemahaman yang tepat tentang makna syukur itu bagi hidup
kita.
1. Rasa
syukur menentukan kebahagiaan.
Rasa
syukur kepada pekerjaan adalah obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan
setiap kekecewaan. Seberat apapun beban pekerjaan yang Anda hadapi, pasti akan
terasa ringan jika Anda memiliki rasa syukur yang lebih besar dari beban itu.
Sebaliknya, seenak apapun suasana dan imbalan yang dapatkan dari pekerjaan
Anda; maka Anda akan tetap mengeluhkannya jika rasa syukur Anda atas semua
kenikmatan kerja itu terlalu kecil untuk menghidupkan lentera nikmat dalam hati
Anda. Makanya, banyak orang dengan kedudukan dan imbalan tinggi yang masih
mengeluhkan pekerjaannya. Dan banyak orang yang pekerjaannya bejibun namun
tetap gembira meski bayarannya ’tidak seberapa’. Keluhan bukanlah monopoli
orang-orang berkedudukan rendah. Kegembiraan juga bukan monopoli mereka yang
jabatannya tinggi. Malah kita sering menyaksikan hal yang sebaliknya. Jika kita
tidak kunjung bahagia dengan kehidupan kerja, mungkin kita perlu bersyukur
lebih banyak lagi. Mengapa? Karena rasa syukur pada pekerjaan sangat menentukan
apakah kita bahagia dengan pekerjaan itu atau tidak.
2. Rasa
syukur memberi ketabahan.
Jika
boleh memilih, apakah Anda lebih menyukai pekerjaan yang berat secara fisik,
atau berat tanggungjawabnya? Normalnya, orang-orang berpendidikan tinggi tidak
menyukai pekerjaan fisik yang berat. Meski tidak terlalu suka pada
tanggungjawab yang berat, tetapi itu adalah pilihan terbaiknya. Pekerjaan fisik
itu melelahkan dan imbalannya rendah. Sedangkan tanggungjawab besar pada
pekerjaan non fisik diimbangi dengan ruang kerja yang nyaman nyaris tanpa
keringat, pakaian perlente, dan tentunya; bayaran yang jauh lebih tinggi. Maka,
kemungkinan besar; Anda akan memilih tangggungjawab besar daripada kerja fisik yang
berat. Normal. Tapi, mengapa banyak orang yang memegang tanggunjawab besar
justru sering ingin berhenti, atau lari ke tempat lain hanya karena merasa
beban yang harus kita pikul terasa sangat berat? Mengapa banyak pegawai
biasa-biasa saja yang justru lebih kuat dan lebih tabah? Ternyata orang-orang
biasa itu lebih banyak bersyukur daripada kita. Dengan rasa syukur itu mereka
membangun kekuatannya. Karena rasa syukur memberi kita ketabahan.
3. Rasa
syukur melahirkan keikhlasan.
Jangan
salah kaprah. Ikhlas itu tidak sama artinya dengan tidak dibayar. Kita semua
berhak untuk mendapatkan bayaran yang sepadan atas pekerjaan atau kontribusi
yang kita berikan. Ikhlas juga bukan berarti menerima saja perlakukan tidak
senonoh orang lain. Ikhlas itu berkaitan dengan sikap mental ketika kita
menerima penugasan atau kondisi-kondisi tertentu yang belum tentu sesuai dengan
keinginan kita. Ini bisa berkaitan dengan jenis pekerjaan, lingkungan kerja,
atau orang-orang yang bekerja dengan kita. Orang ikhlas itu jarang mengeluh.
Tidak ada yang bisa kita dapatkan dari keluhan pada pekerjaan. Justru dengan
keluhan itu hati kita semakin lelah. Produktivitas kita semakin rendah. Dan
performance appraisal kita semakin payah. Maka marilah kita belajar untuk
ikhlas menerima penugasan atau tuntutan kerja. Marilah belajar ikhlas pada
lingkungan kerja dan orang-orang yang bekerja bersama kita. Lalu kita
alokasikan energy yang biasa kita gunakan untuk mengeluh itu menjadi daya
dorong bagi pencapaian dan prestasi tinggi kita. Dan untuk bisa
ikhlas, kita butuh rasa syukur. Mengapa? Karena keikhlasan dilahirkan dari rasa
syukur atas setiap anugerah yang kita terima melalui pekerjaan yang kita
dapatkan.
4. Rasa
syukur mendorong untuk berprestasi.
Bayangkan
Anda adalah orang yang memiliki ketiga indikator ini; bahagia, tabah, dan
ikhlas. Apakah dengan ketiga indikator itu Anda bisa mencapai prestasi
tertinggi di tempat kerja? Yes, tanpa keraguan sedikitpun. Mengapa? Orang-orang
yang bahagia bekerja tanpa beban sehingga semua energy yang dimilikinya
didedikasikan tanpa gangguan. Mereka yang tabah tidak mudah menyerah saat
berhadapan dengan tugas-tugas sulit, melelahkan dan menantang. Sedangkan
keikhlasan yang dimilikinya membuat mereka bersedia melakukan tugasnya dengan
sepenuh hati sehingga tidak ada kesempatan, peluang, energy maupun dedikasi
yang disia-siakan. Maka wajar jika orang yang bahagia, tabah dan ikhlas itu
bisa melampaui kinerja kebanyakan orang. Dan kita sudah membahas dimuka bahwa,
kebahagiaan ditempat kerja, ketabahan dalam menjalani pekerjaan, dan keikhlasan
menerima keadaan dihasilkan dari rasa syukur kepada pekerjaan. Maka nyata
sekali jika rasa syukur itu mendorong kita untuk berprestasi tinggi. Maka
bersyukurlah atas pekerjaan Anda, karena dengan rasa syukur itu Anda bisa mengukir
prestasi yang lebih tinggi lagi.
5. Rasa syukur memberi lebih
banyak nikmat.
Guru
kehidupan saya mengatakan jika Tuhan sangat menyukai orang-orang yang bersyukur
sehingga Dia tidak segan-segan untuk menambah kenikmatan bagi mereka yang
senang bersyukur. Boleh saja jika Anda mengira hal itu hanya berlaku untuk
aspek-aspek spiritual yang langsung berhubungan dengan Tuhan. Tapi, coba
bayangkan situasi ini. Anda mempunyai 2 anak buah. Yang pertama
adalah si jago komplain, tukang mengeluh, dan tidak pernah puas atas apa yang
Anda berikan kepadanya. Yang satu lagi adalah orang yang tahu berterimakasih,
lalu membalas kebaikan Anda kepadanya dengan kesungguhan dalam bekerja,
memberikan yang terbaik dari dirinya sehingga prestasinya selalu memuaskan
Anda. Saya tidak perlu bertanya orang yang mana yang menjadi kesayangan Anda.
Saya juga tidak perlu bertanya kepada siapa Anda akan memberi lebih banyak
lagi. Sudah jelas sekali jika Tuhan menyukai orang-orang yang bersyukur. Atasan
atau pemilik perusahaan tempat kita bekerja juga demikian. Maka rasa syukur
kita kepada pekerjaan, benar-benar memberi kita lebih banyak lagi. Mungkin
penghasilan. Mungkin kesempatan. Mungkin kepercayaan. Atau mungkin, hal-hal
lain yang tidak pernah kita bayangkan.
(dari berbagai sumber)
Monday, February 3, 2014
Tidak Enak Menjadi Minoritas
Pagi ini saya masuk kerja (lagi) setelah hari Kamis kena K.O. kehujanan dan demam yang membuat kepala seperti dipakaikan helm 10 kilogram. Entah kenapa hari ini, saya masih pusing. Mungkin efek dari perjalanan kereta api 9 jam nonstop sampai jam 12 malam tadi plus sampai stasiun Senen kehujanan dan saya tidak bisa tidur sampai pagi.
Sesampainya saya di kantor saya menaruh oleh-oleh pulang kampung berupa bakpia dan wingko babat di tempat rekan-rekan biasa menaruh oleh-oleh. Beberapa menit kemudian rekan saya membawa oleh-oleh 'benda yang paling saya benci', durian.
Ya, saya sangat benci dengan benda busuk satu itu. Saking bencinya saya tidak pernah tidak pusing ketika mencium baunya. Celakanya hari ini kondisi tubuh saya sedang menurun dan rasanya benar-benar membikin mual, seakan mau muntah.
Itulah tidak enaknya menjadi minoritas. Dalam prinsip demokrasi, suara terbanyak adalah yang berkuasa, ok saya paham. Tapi sayangnya dalam prinsip demokrasi, kebebasan individu juga mendapatkan tempat yang tinggi. Dalam hal ini kebebasan rekan-rekan saya untuk menyantap durian yang berbau itu seharusnya memperhatikan kebebasan saya untuk menghirup udara segar tanpa ada bau sesuatu yang tidak saya sukai. Suka atau tidak suka begitulah prinsip demokrasi. Namun, hal seperti itu sepertinya hanya utopia. Tidak hanya terjadi di lingkungan pekerjaan, namun ketidakbecusan penerapan demokrasi sebenarnya terjadi juga di masyarakat yang lebih luas. Ya, karena masyarakat luas merupakan pengembangan dari prototipe yang lebih sempit.
Ya itu menjadi sebuah ironi dalam perkembangan demokrasi, minoritas tetap minoritas.
Subscribe to:
Posts (Atom)